Minggu, 17 Juni 2012

 

CILINAYA

Pada zaman dahulu, tersebutlah sepasang kerajaan kembar di Nusa Tenggara
Barat,yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Dikatakan kerajaan kembar
karena kedua kerajaan tersebut dipimpin oleh dua raja kakak-beradik.
Raja Daha adalah sang kakak sedangkan Raja Keling adiknya. Kedua raja
tersebut sama-sama telah menikah, namun belum juga dikaruniai seorang
anak. Akhirnya, mereka bersepakat untuk pergi bernazar di puncak Bukit
Batu Kemeras yang terletak di antara kedua kerajaan mereka.

Pada hari yang telah ditentukan, Raja Daha dan Raja Keling datang ke
puncak bukit tersebut untuk menyampaikan nazar mereka kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Setibanya di sana, Raja Keling yang terlebih dahulu
menyampaikan nazarnya.?Oh, Tuhan! Jika hamba dikaruniai seorang anak, hamba akan membawa daun
sirih ke tempat ini!? ucap Raja Keling dengan penuh kayakinan.

Mendengar nazar adiknya itu, Raja Daha tersenyum seraya bertanya, ?Hanya
itukah nazarmu, Adikku? Apakah para dewa akan mengabulkan permintaanmu
dengan nazarmu yang sangat ringan itu??
?Entahlah, Kakanda! Yang penting Adinda telah menyampaikan nazar ini
dengan niat ikhlas,? jawab Raja Keling.

Setelah itu, giliran Raja Daha yang menyampaikan nazarnya. Karena sangat
berharap memiliki seorang anak, maka ia menyampaikan nazar yang cukup
berat.?Oh, Tuhan! Kabulkan permintaan hamba ini! Jika hamba dikaruniai seorang
anak, hamba akan mempersembahkan seekor lembu berselimut sutera,
bertanduk emas, dan berkuku perak di tempat ini!? ucap Raja Daha.

Setelah menyampaikan nazar, kedua raja kakak-beradik tersebut kembali ke
kerajaan masing-masing. Sebulan kemudian, masing-masing istri dari kedua
raja tersebut diketahui mengandung. Betapa senang hati Raja Daha dan
Raja Keling mendengar kabar gembira tersebut.

Beberapa bulan kemudian, para permaisuri itu melahirkan dalam waktu yang
hampir bersamaan. Istri Raja Keling melahirkan seorang anak laki-laki
tampan sehari sebelum istri Raja Daha melahirkan bayi perempuannya yang
cantik jelita.Selang beberapa hari kemudian, Raja Keling dan Raja Daha bersama istri
dan anak beserta para pengawal mereka datang ke Bukit Batu Kemeras untuk
membayar nazar. Oleh karena rasa syukur yang mendalam, Raja Keling
membayar nazar lebih besar dari apa yang dia niatkan, yaitu dengan
membawa seekor lembu berselimut sutera, bertanduk emas, dan berkuku perak.

Sementara itu, Raja Daha membayar nazarnya jauh lebih kecil dari apa
yang dia niatkan, yaitu hanya membawa seekor lembu biasa. Menurut
kepercayaan masyarakat setempat, apa yang dilakukan Raja Daha tersebut
merupakan suatu pantangan dan dapat mendatangkan malapetaka baginya.
Ternyata, apa yang diyakini masyarakat tersebut benar-benar terjadi. Di
tengah perjalanan pulang, rombongan Raja Daha tiba-tiba dihadang oleh
angin puting beliung. Angin itu berputar-putar dan menerbangkan putri
Raja Daha. Semakin lama, angin itu semakin jauh menerbangkan sang bayi.
Raja Daha dan istrinya tak kuasa menahan tangis karena kehilangan putri
semata wayangnya.

Sementara itu, putri Raja Daha yang diterbangkan angin itu akhirnya
jatuh di sebuah taman di pinggir danau. Bayi itu kemudian ditemukan oleh
sepasang suami istri penjaga taman yang bernama Pak Bangkol dan Bu
Bangkol. Mereka mengambil bayi itu untuk dijadikan anak angkat dan memberinya nama Cilinaya.
Waktu terus berjalan. Cilinaya pun tumbuh menjadi gadis yang cantik nan
rupawan. Ia adalah gadis yang cerdas. Berbagai ilmu seperti menenun,
memasak, dan merangkai bunga yang diajarkan oleh Bu Bangkol kepadanya
dapat dikuasainya dengan cepat.

Setiap selesai menenun, Cilinaya sering bermain sendiri di taman bunga.
Suatu hari, ketika Cilinaya sedang asyik bermain di taman itu, ia
bertemu dengan seorang pemuda tampan yang sedang melintas di daerah itu.
Rupanya, pemuda itu adalah putra Raja Keling yang bernama Raden Panji.
Berawal dari pertemuan itulah hingga akhirnya mereka saling jatuh cinta
dan menikah.

Setelah beberapa lama tinggal di rumah Pak Bongkol, Raden Panji kembali
ke Kerajaan Keling untuk memperkenalkan Cilinaya kepada kedua orang
tuanya. Ketika itu, Cilinaya sedang hamil tua. Setibanya di istana,
Raden Panji menceritakan semua perihal tentang diri dan keluarga
Cilinaya kepada ayahandanya.

?Maafkan Nanda, Ayah! Nanda telah menikah tanpa memberitahu Ayahanda
sebelumnya. Perkenalkan, ini istri Nanda, Ayah! Namanya Cilinaya. Ia
adalah anak penjaga taman,? ungkap Raden Panji di hadapan ayahandanya.

Mendengar cerita itu, Raja Keling merasa sangat kecewa karena putranya
menikah dengan anak orang biasa. Hal itu tentu saja akan mencoreng nama
baik keluaga besar Istana Keling. Meski demikian, Raja Keling tetap
menyembunyikan perasaan kecewa itu.

Pada suatu hari, Raja Keling berpura-pura sakit, lalu menyuruh Raden
Panji mencarikannya hati kijang ke hutan untuk mengobati sakitnya.
Begitu putranya berangkat ke hutan, Raja Keling segera memerintahkan
patihnya untuk menghabisi nyawa Cilinaya.?Patih, singkirkan istri Raden Panji dari istana! Aku tidak ingin namabaik keluarga istana ini tercoreng gara-gara mempunyai menantu dari
orang biasa!? seru Raja Keling.?Baik, Baginda! Perintah Baginda segera hamba laksanakan,? jawab Patih
istana.

Bersama beberapa pengawal istana, Patih itu menangkap Cilinaya yang baru
saja melahirkan seorang anak laki-laki. Setelah itu, mereka membawa
Cilinaya bersama anaknya ke pantai Tanjung Menangis. Sesampainya di
bawah sebuah pohon ketapang yang rindang, mereka pun berhenti.Sebelum diakhiri hidupnya, Cilinaya memeluk erat-erat putranya lalu
berpesan kepada Patih dan pengawalnya.Dengarlah, wahai Tuan-Tuan! Jika darah saya nanti berbau amis berarti
itu menandakan bahwa saya adalah anak orang biasa. Namun, jika darah
saya berbau harum berarti saya putri seorang raja,? pesan Putri Cilinaya.

Setelah mendengar pesan itu, Patih istana segera menghabisi nyawa
Cilinaya dengan sebuah keris. Tak ayal lagi, istri Raden Panji itu pun
tergeletak di tanah sambil memeluk bayinya yang sedang menangis. Darah
yang menetes keluar di tubuhnya menebarkan bau yang sangat harum. Patih
dan para pengawal istana sangat menyesal ketika mencium bau harum itu.
Mereka menyesal karena telah menghabisi nyawa Cilinaya yang ternyata
adalah seorang putri raja. Namun, apa hendak dibuat, nyawa Cilinaya
tidak tertolong lagi. Mereka pun segera kembali ke istana untuk
melaporkan peristiwa itu kepada Raja Keling.

Sementara itu, Raden Panji bersama pengawalnya yang kebetulan melintas
di daerah itu mendengar suara tangis bayi. Mereka pun segera mencari
sumber suara tangis itu. Tak berapa lama kemudian, mereka menemukan
seorang perempuan tergeletak sambil memeluk bayi. Raden Panji pun
tersentak kaget setelah mengetahui bahwa perempuan itu adalah istrinya.
Ia tak kuasa lagi menahan rasa sedih sehingga tak terasa air matanya
menetes keluar dari kedua kelopak matanya.?Oh, Tuhan! Sungguh malang nasib istriku,? rintih Raden Panji.

Baru saja Raden Panji mengucapkan rintihan hatinya, tiba-tiba petir
menyambar-nyambar. Di sela-sela suara petir itu terdengar suara dari langit.?Wahai, Raden Panji! Buatlah peti untuk istrimu. Setelah itu, kamu hanyutkan dia ke laut. Atas kuasa Tuhan, kelak kalian akan bertemu
kembali!? demikian pesan suara itu.

Mendengar suara itu, Raden Panji segera memerintahkan para pengawalnya
untuk membuat peti lalu memasukkan istrinya ke dalam peti itu. Usai
menghanyutkan peti itu ke laut, Raden Panji kembali ke istana dengan
menggendong putranya. Ia memberi nama putranya itu Raden Megatsih.

Sementara itu, di tempat lain, istri Raja Daha sedang mandi di pantai.
Ketika melihat sebuah peti hanyut terbawa gelombang, ia segera menyuruh
beberapa pengawal istana untuk mengambil peti itu. Alangkah terkejutnya
sang permaisuri setelah membuka peti itu. Ia melihat seorang putri
cantik terbaring di dalamnya. Putri itu tidak lain adalah Cilinaya yang
telah hidup kembali. Akhirnya, ia membawa Cilinaya ke istana dan
mengangkatnya sebagai anak.

Beberapa tahun kemudian, Raja Daha mengadakan pesta sabung ayam di
istana. Raja Daha mempunyai seekor ayam jantan sangat tangguh yang belum
pernah terkalahkan. Pada pesta kali ini, Raja Daha mempertaruhkan
separuh harta kekayaannya. Peserta dari berbagai penjuru negeri pun
berdatangan untuk mengalahkan ayam jagoan Raja Daha, tak terkecuali
Raden Megatsih yang telah beranjak dewasa. Putra Raden Panji itu juga
mempunyai ayam yang sakti.

Saat yang dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Keling pun tiba. Pesta
sabung ayam itu segera dimulai. Pesta itu sangat meriah. Para penonton
bersorak-sorai menyaksikan pertarungan ayam-ayam aduan tersebut. Sudah
puluhan ayam yang telah beradu, namun belum seekor ayam pun yang mampu
mengalahkan ayam jagoan Raja Daha. Kini, giliran ayam Raden Megatsih
yang akan beradu dengan ayam Raja Daha. Rupanya, ayam Raden Megatsih
sangat sakti sehingga dapat mengalahkan ayam Raja Daha dengan mudah.
Setelah memenangkan pertarungan itu, ayam Raden Megatsih berkokok./Do do Panji kembang ikok Maya/?,
Artinya: ?Ayahku Panji, Ibuku Cilinaya.?

Cilinaya yang mendengar dan mengerti maksud kokok ayam itu segera
memeluk Raden Megatsih.Oh, Putraku! Ketahuilah, aku ini Ibumu, Cilinaya,? ungkap Cilinaya.
Raden Megatsih membalas pelukan ibunya dengan erat. Rasa haru pun
menyelimuti hati kedua ibu dan anak itu. Setelah itu, Raden Megatsih
pulang menemui ayahnya dan menceritakan pertamuannya dengan sang ibu.
Alangkah bahagianya hati Raden Panji mendengar berita gembira itu. Tanpa
membuang-buang waktu, Raden Panji bersama putra dan kedua orang tuanya
segera ke istana Kerajaan Daha untuk menemui Cilinaya.

Di hadapan Raja Daha dan seluruh keluarga istana Daha, Raden Panji
menceritakan semua kisah hidupnya sehingga terungkaplah semua rahasia
yang tidak mereka ketahui selama ini. Raja Daha pun mengerti bahwa
Cilinaya adalah putrinya yang dulu diterbangkan angin dan ditemukan oleh
si penjaga taman. Demikian pula Raja Keling baru menyadari bahwa
ternyata menantunya yang pernah ia bunuh itu adalah seorang putri raja
yang merupakan kemenakannya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Cilinaya
atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Akhirnya, dengan perkawinan
Raden Panji dari Kerajaan Keling dengan Putri Cilinaya dari Kerajaan
Daha, maka semakin eratlah hubungan kekerabatan antara kedua kerajaan
tersebut. Raden Panji dan Cilinaya pun hidup bahagia bersama seluruh
keluarganya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar